Pengertian Riba, Hukum dan Macam-Macam Riba

Diposting pada

Pengertian Riba, Hukum dan Macam-Macam Riba – Riba menurut bahasa artinya lebih atau bertambah sedangkan menurut syariat Islam adalah akad yang terjadi dalam penukaran barang-barang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya  menurut aturan syara’, atau terlambat menerimanya.

Hukum dari riba adalah Haram sebagaimana firman Allah Swt.

إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya: “Bahwasanya jual beli itu seperti riba, tetapi Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah : 275)

Rasulullah Saw bersabda:

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: لَعَنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اٰ ِكلَ الرِّبَاوَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

Artinya: Dari Jabir ra beliau berkata: Rasulullah Saw. telah melaknati orang-orang yang suka memakan riba, orang yang jadi wakilnya, juru tulisnya, orang-orang yang menyaksikan riba. Rasulullah Saw selanjutnya bersabda : “Mereka semuanya sama”. (Dalam berlaku maksiat dan dosa) (HR Muslim)

Pengertian Riba, Hukum dan Macam-Macam Riba

Macam-Macam Riba

Riba ada empat macam berikut ini adalah macam-macam riba:

1. Riba Fuduli : Yaitu penukaran dua barang yang sejenis dengan tidak sama (Fudul sama dengan Lebih), contohnya menjual Rp 100,000 dengan Rp 120,000 , atau menjual 10 kg beras dengan 11 kg beras, barang yang sejenis misalnya beras dengan beras, uang dengan uang dan lain sebagainya. Sedangkan yang dimaksud lebih yaitu dalam timbangan barang pada barang yang ditimbang, takaran pada barang yang ditakar, kurang pada barang yang diukur dan lain sebagainya.

Baca juga : Pengertian dan Hukum Ijarah (Pembayaran Upah)

Rasulullah Saw bersabda :

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًابِوَزْنٍ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنٍ مِثْلاًبِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَفَهُوَرِبًا

Artinya : Dari Abu Hurairah ra ia berkata : Rasulullah saw bersabda : “emas dengan emas lagi yang sama jenisnya dan timbangannya, perak dengan perak lagi yang sama jenis timbangannya, barang siapa yang menambah atau meminta tambah, hal itu adalah riba.” (HR Muslim)

2. Riba Qardi : Yaitu meminjam barang dengan syarat keuntungan bagi yang menghutanginya (qardi sama dengan pinjam), contohnya seseorang yang berhutang Rp 100,000 dengan perjanjian akan membayar Rp 120,000.

3. Riba Yad : Yaitu berpisah sebelum timbangan terima. Orang yang membeli suatu barang, sebelum ia menerima barang yang dibeli dari si penjual, tidak boleh menjualnya kepada siapapun, sebab barang yang dibeli dan belum diterima masih dalam ikatan jual beli yang pertama, belum menjadi milik yang sebenarnya bagi pembeli atau pemilik.

4. Riba Nasa’ : Yaitu pertukaran yang diisyaratkan terlambat salah atau dari dua barang itu, lebih jelasnya melebihkan pembayaran barang yang dipertukarkan, diperjualbelikan atau dihutangkan. Karena diakhirkan atau dilambatkan waktu membayarnya. baik barang yang sama jenisnya atau tidak.

Artinya: Dari Samurah bin Jundub ra, bahwa Nabi Saw melarang menjual binatang dengan binatang, dengan uang pembayaran yang d itempokan.” (HR  Imam yang lima dan disahkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Jarudi)

Syarat menjual sesuatu barang agar tidak menjadi riba:

1. Menjual emas dengan emas, perak dengan perak, makanan dengan makanan yang sejenis seperti beras dengan beras hanya boleh dilakukan dengan tiga syarat yaitu:

a. Serupa timbangan dan banyaknya.

b. Tunai.

c. Timbangan terima dalam akad belum meninggal majlis akad.

2. Menjual emas dengan perak dan makanan dengan makanan yang berlainan jenis contohnya beras dengan jagung hanya boleh dengan dua syarat:

a. Tunai.

b. Timbangan terima dalam akad sebelum meninggalkan majlis akad (taqaabul qablat-tafaaruq)

Baca juga : Pengertian, Hukum Dan Rukun Luqatah (Barang Temuan)

Demikianlah mengenai pengertian riba, hukum dan macam-macamnya, hikmah diharamkannya riba dalam islam. Karena riba mengandung hal-hal yang sangat negatif bagi perseorangan maupun masyarakat. Yaitu menghilangkan faedah hutang piutang yang menjadi tulang punggung gotong royong atas kebaikan dan taqwa, sangat menghalangi kepentingan orang yang menderita dan miskin, menghilangkan manfaat yang wajib disampaikan kepada orang yang membutuhkan, menjadikan pelakunya malas bekerja keras dan menimbulkan sifat menjajah dari orang kaya kepada orang miskin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.